BANDUNG.JABARTRUSTED.COM, – Pagi itu, udara Bandung belum sepenuhnya hangat. Di sebuah ruang tamu sederhana, seorang ibu menggenggam tangan putrinya erat. Matanya sembab. Sementara sang anak, remaja perempuan berusia 17 tahun, menunduk diam. Wajahnya menggurat trauma yang tak bisa disembuhkan dengan resep atau obat apa pun.
Di balik sunyi ruangan itu, sebuah cerita kelam mulai terkuak. Cerita tentang kepercayaan yang dihancurkan, tentang tubuh yang dinodai oleh seseorang yang bersumpah akan menjaga dan menyembuhkan.
Pelaku, berinisial PAP, adalah peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Universitas Padjadjaran yang menjalani pendidikan klinis di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Seorang calon spesialis, yang dipercaya menangani pasien-pasien dalam kondisi kritis dan rentan.
Namun, pada awal tahun 2025, kepercayaan itu berubah menjadi bencana. PAP diduga melakukan pemerkosaan terhadap tiga korban — dua pasien dan satu anggota keluarga pasien. Ironisnya, aksi ini terjadi di tempat yang seharusnya paling aman: ruang tindakan di salah satu gedung pelayanan medis RSHS.
Modusnya: korban dalam kondisi tidak sadar, baru saja dibius — baik untuk keperluan tindakan medis, maupun karena masih dalam proses pemulihan. Dalam kondisi ini, PAP diduga melakukan tindak kekerasan seksual.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, Kombes Pol Surawan, dalam keterangannya menyatakan bahwa pihaknya telah memeriksa 17 saksi, delapan di antaranya adalah tenaga medis dan pegawai RSHS. Termasuk di antaranya dokter-dokter yang berada di sekitar PAP saat bertugas.
“Kami memeriksa pengawasan, penanggung jawab malam itu, dan dokter yang satu shift dengan tersangka,” ujar Surawan.
Namun hingga kini, belum ditemukan unsur pidana yang menunjukkan kelalaian pengawasan. Padahal, publik bertanya: bagaimana bisa seorang residen, yang seharusnya selalu dalam supervisi dokter senior, bisa memiliki celah untuk melakukan kekerasan seksual berulang kali di ruang tindakan?
Sumber internal rumah sakit yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa pada praktiknya, supervisi terhadap dokter residen sangat bergantung pada beban kerja dan kultur di masing-masing divisi.
“Kalau malam hari, pengawasan sangat longgar. Ada dokter jaga, tapi jumlahnya terbatas. Kadang dokter residen seperti PAP bisa bebas masuk ruang tindakan karena dianggap sudah cukup kompeten,” ujarnya.
Kasus ini tidak hanya membuka luka korban, tetapi juga membuka borok lama dunia kedokteran: budaya hierarki yang kaku, dan sistem yang enggan mengakui kesalahan.
Seorang mantan PPDS Unpad, yang kini praktik sebagai dokter umum, mengakui bahwa sistem rotasi dan beban kerja membuat residen kadang ‘didewakan’ atau justru ‘dilepaskan’ tanpa pengawasan. “Ada silent pressure. Korban bahkan bisa takut bersuara, apalagi kalau pelakunya dianggap ‘anak emas’ di satu departemen,” ungkapnya.
Ketika berita pemerkosaan ini mencuat, banyak pihak kaget. Tapi sebagian lainnya — terutama yang pernah bergelut di dunia medis — mengaku tidak sepenuhnya heran. “Karena sistemnya memungkinkan. Bukan hanya karena niat jahat pelaku, tapi karena celah itu ada.”
PAP kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Proses hukum berjalan. Tapi seperti banyak kasus kekerasan seksual lainnya, tantangan utamanya adalah pembuktian, apalagi sebagian korban dalam kondisi tidak sadar saat kejadian.
Kelompok pendamping korban dan LSM advokasi perempuan menyuarakan pentingnya pendekatan trauma-informed dalam penanganan kasus ini. “Jangan sampai proses hukum justru membuat korban semakin trauma. Kita butuh lebih dari sekadar hukuman bagi pelaku. Kita butuh reformasi sistem,” kata Fitria Nuraini dari Jaringan Perempuan Anti Kekerasan.
Sampai artikel ini ditulis, pihak Rumah Sakit Hasan Sadikin dan Fakultas Kedokteran Unpad belum memberikan keterangan terbuka yang menjelaskan langkah-langkah konkret yang mereka ambil untuk mengatasi dan mencegah kejadian serupa.
Padahal, kasus ini bukan hanya soal satu individu pelaku. Ini tentang sistem pengawasan, etika profesi, dan tanggung jawab institusi.
“Jika tidak ada evaluasi menyeluruh, kasus ini hanya menunggu untuk terulang lagi. Di tempat yang sama, atau di tempat lain,” ujar Dr. Hendra Prawira, pengamat kebijakan kesehatan dari Bandung.
Kasus ini adalah pengingat menyakitkan bahwa tubuh perempuan — bahkan saat sedang sakit, bahkan saat dalam perawatan medis — tetap rentan terhadap kekuasaan dan kekerasan.
Kita berhutang keadilan pada korban. Tapi lebih dari itu, kita berhutang sistem yang aman bagi semua.
Karena rumah sakit bukan tempat untuk trauma baru lahir. Ia seharusnya menjadi tempat penyembuhan — bukan sumber luka baru.