“Pelat Luar, Jalan Jabar”: Gubernur Dedi Mulyadi Luncurkan Ultimatum Fiskal untuk Keadilan Daerah

BANDUNG.JABARTRUSTED.COM,- Mobil-mobil dengan pelat nomor luar daerah lalu-lalang di jalanan Jawa Barat. Dari kota-kota besar seperti Bekasi, Bandung, hingga ke pelosok Ciamis dan Sukabumi, tak sulit menemukan kendaraan berpelat B, D, atau L—yang sejatinya bukan berasal dari provinsi ini. Namun, saat jalanan berlubang, jembatan aus, atau polusi meningkat akibat volume kendaraan, siapa yang menanggung bebannya? Bukan provinsi asal pelat, melainkan tanah Jabar itu sendiri.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengambil sikap. Dalam unggahan akun Instagram resminya, Selasa (8/4/2025), ia meluncurkan kebijakan yang bisa dibilang sebagai “ultimatum fiskal”: mulai 9 April hingga 20 Juni 2025, semua kendaraan berpelat luar yang beroperasi di wilayah Jabar wajib dimutasi ke pelat daerah. Sebagai insentif, Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) selama masa tersebut dibebaskan.

“Jangan sampai mobil-mobil itu rusak jalan di Jabar tapi pajaknya dibayarkan ke provinsi lain,” tandasnya.

Jejak Pelat Luar dan Beban yang Tersembunyi

Berdasarkan data Dinas Pendapatan Daerah yang dihimpun oleh KejakimpolNews, setidaknya 25% kendaraan yang beroperasi di Jabar berasal dari luar provinsi, utamanya Jakarta, Banten, dan Jawa Tengah. Mobil-mobil itu kerap digunakan oleh perusahaan besar, ekspedisi, hingga pejabat yang tinggal di Jabar tapi ber-KTP luar.

Salah satu kasus nyata terjadi di kawasan industri Karawang. Di sana, ratusan kendaraan operasional milik perusahaan multinasional terdaftar di Jakarta, padahal aktivitas utamanya berlangsung di Jabar. Pajak mengalir ke ibukota, sementara aspal Jabar yang terkikis setiap hari tak mendapat timbal balik.

“Ini bukan soal sentimen daerah. Ini soal keadilan fiskal. Jalan rusak di Jabar, APBD Jabar yang menanggung, bukan DKI atau Jateng,” kata seorang pejabat Dishub yang enggan disebut namanya.

Antara Peluang dan Peringatan

Dengan pemberlakuan insentif hingga 20 Juni, Pemprov Jabar membuka peluang besar bagi warga dan perusahaan untuk mengalihkan kontribusi pajaknya secara sah ke Jabar. Namun, setelah masa itu lewat, tak ada lagi keringanan.

“Setelah 20 Juni, mutasi kembali normal. Tak ada lagi pembebasan. Ini kesempatan. Jangan disia-siakan,” ujar Dedi.

Meski demikian, kebijakan ini juga menuai tanya. Sejauh mana pemerintah akan menegakkan aturan ini pasca-deadline? Apakah akan ada razia khusus? Ataukah hanya akan menjadi kebijakan normatif tanpa pengawasan ketat?

Gema Lebih Luas: Apakah Provinsi Lain Akan Mengikuti?

Apa yang dilakukan Dedi Mulyadi bisa jadi preseden bagi provinsi lain. Jika berhasil, bukan tidak mungkin Jawa Tengah, Banten, atau Sumatera Utara akan mengadopsi kebijakan serupa. Karena pertanyaannya bukan lagi sekadar soal pelat nomor, tapi tentang kedaulatan fiskal lokal di tengah mobilitas nasional.

Mobil dengan pelat luar memang bisa membeli bahan bakar di mana saja, melaju di jalan mana pun. Tapi saat giliran membayar pajak, ia harus memilih: mau terus menjadi “tamu” yang tak pernah bayar sewa, atau jadi “warga” yang ikut memikul beban?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *