BANDUNG.JABARTRUSTED.COM, – Jika Swedia punya ABBA yang lahir pada tahun 1972, maka Indonesia punya Bimbo, sebuah grup musik legendaris asal Bandung yang lahir lebih dulu—tahun 1966. Empat bersaudara: Syam, Atjil, Jaka, dan Iin, adalah ruh dari grup yang lirik-liriknya melampaui masa, mengalun dari balada, kritik sosial, hingga spiritualitas.
Dari Alulas ke Aneka Nada
Kisah Bimbo berawal di bangku SMA. Syam dan Atjil mendirikan band kecil bernama The Alulas. Semangat bermusik mereka berkembang di era 1950–1960-an, hingga akhirnya berganti nama menjadi Aneka Nada, sebuah band yang dihuni tujuh mahasiswa dari ITB. Di dalamnya ada nama-nama yang tak asing, seperti Guntur Soekarnoputra, Memet Slamet, hingga Jessy Wenas.
Mereka membawakan irama Latin seperti Cha-Cha ala Trio Los Panchos, dan sempat mencatatkan lagu pertama mereka, Kampungku, lewat rekaman di Lokananta, Solo. Lagu itu kemudian diputar di RRI Bandung dan kota-kota lainnya—membuat nama Aneka Nada mulai dikenal publik.
Namun tak semua perjalanan manis. Perbedaan visi membuat Aneka Nada bubar pada tahun 1965. Syam dan Atjil sempat vakum, sampai suatu hari, sebuah gitar pemberian sang adik perempuan menjadi titik balik.
Lahirnya Nama “Bimbo”
Syam dan Atjil lalu mengajak adik laki-laki mereka, Jaka, untuk membentuk band baru. Mereka terus diasah, termasuk oleh sahabat dekat, FR. Pattirane, yang memperkenalkan mereka pada konsep harmoni vokal yang akan jadi ciri khas Bimbo.
Saat tampil di TVRI pada tahun 1966, grup ini belum punya nama. Sutradara TVRI, Hamid Gruno, spontan memberi nama “Bimbo”—yang berarti, “Bagus laah!” Dalam beberapa penampilan, mereka sempat memakai nama Trio Los Bimbos, kemudian disederhanakan menjadi Trio Bimbo, demi kesan lokal yang lebih kuat.
Musik mereka saat itu masih kental pengaruh Latin, karena menurut mereka, irama Latin dekat dengan rasa tembang Sunda.
Dari Singapura, Menuju Panggung Nasional
Tahun 1969, mereka mencoba menawarkan demo musik ke label Remaco, namun ditolak karena dianggap tidak lazim. Tapi tak lama, nasib membawa mereka ke Singapura. Mereka dikontrak bernyanyi selama tiga bulan di Ming Court Hotel, Orchard Road.
Sebelum kembali ke tanah air—karena Acil dan Jaka harus menyelesaikan kuliah—mereka merekam album kenangan di label Polydor (Fontana) Singapura. Di studio Kinetex, mereka dibantu dua musisi jazz ternama: Maryono (flute, saksofon) dan Mulyono (piano). Album itu memuat 12 lagu, di antaranya Melati dari Jayagiri dan Flamboyan.
Tak disangka, album itu meledak di pasaran, meski hanya dicetak terbatas. Popularitas mereka meroket. Label Remaco yang sebelumnya menolak, kini justru mengajak kerja sama.
Era Balada, Kritik, dan Doa
Tahun 1970-an, Bimbo tampil berbeda. Mereka dikenal dengan lagu-lagu balada berpola minor, bernuansa melankolis, dengan lirik puitis. Lagu-lagu seperti Melati dari Jayagiri menjadi semacam ikon perasaan kolektif masyarakat urban kala itu.
Memasuki tahun 1980-an, warna musik mereka semakin matang. Kritik sosial mulai mengalir dalam lagu seperti Antara Kabul dan Beirut, menandai kepedulian Bimbo terhadap dunia luar dan nasib kemanusiaan.
Pada dekade yang sama, Bimbo juga mulai dikenal sebagai pelopor musik religius di Indonesia. Lagu Tuhan, album Qasidah, dan Sajadah Panjang menjadi bagian dari warisan spiritual musik Nusantara.
Kolaborasi Puisi dan Suara
Kekuatan Bimbo tak hanya pada suara tiga serangkai yang harmonis, tetapi juga pada lirik yang menggugah. Mereka berkolaborasi dengan para penyair besar Indonesia seperti Wing Kardjo dan Taufiq Ismail. Melodi Bimbo adalah musik yang membaca puisi, dan puisi yang bisa dinyanyikan.
Lebih dari Sekadar Grup Musik
Hingga kini, Bimbo tetap dikenang sebagai kelompok musik yang unik: pop, religius, puitis, kritis, dan santun. Mereka tidak hanya mengisi ruang hiburan, tapi juga menyuarakan nurani, menggugah rasa, dan mengajak berpikir.
Di era serba instan dan viral, Bimbo tetap berdiri sebagai simbol keindahan yang tak lekang oleh waktu. Seperti doa yang dilantunkan dalam nada.