PURBALINGGA.JABARTRUSTED.COM, – Malam Minggu itu di Slawi, Kabupaten Tegal, langit tampak cerah. Ribuan penonton memadati arena konser Crowd Noise, berharap merayakan kebebasan berekspresi bersama band punk yang tengah jadi buah bibir: Sukatani.
Saat dua personel—Electroguy dan Twister Angel—naik ke panggung, riuh sorak sorai penonton menggema, meminta satu lagu yang telah menjadi simbol kritik sosial: Bayar, Bayar, Bayar.
Tapi lagu itu tak pernah dimainkan malam itu. Hanya ucapan terima kasih dari Electroguy yang terdengar dari atas panggung, “Berkat kalian kami bisa tampil di sini.”
Dirilis tahun lalu, lagu Bayar, Bayar, Bayar awalnya hanya bagian dari album Gelap Gempita. Namun pada Februari 2025, lagu ini meledak di media sosial, dipakai warganet sebagai kritik terhadap dugaan pungutan liar dan penyimpangan di tubuh kepolisian.
Tak lama kemudian, lagu tersebut lenyap dari platform musik. Pada 18 Februari, Electroguy dan Twister Angel mengumumkan bahwa mereka menarik lagu dari semua kanal distribusi dan meminta warganet menghapus rekamannya. Mereka juga menyampaikan permintaan maaf kepada Kapolri dan Polri.
Permintaan maaf itu memicu reaksi keras. Warganet menuduh terjadi pembungkaman. Tagar seperti #IndonesiaGelap dan #BayarBayarBayar menggema di berbagai platform digital.
Dalam unggahan Instagram, Sukatani menyebut kondisi mereka “sudah membaik” dan berada di “ruang yang lebih aman.” Namun, pertanyaan besar pun menggantung: Aman dari siapa?
Pernyataan tersebut datang tak lama setelah kabar beredar bahwa mereka telah mengakhiri kerja sama hukum dengan pengacara Singgih Tomi Gumilang. Pengacara itu menyebut keputusan tersebut sebagai langkah kemandirian band untuk mengendalikan perjalanan mereka sendiri.
Namun, keputusan tersebut terjadi hanya sehari setelah Kapolri Listyo Sigit menyebut telah terjadi “miskomunikasi” dan menegaskan Polri tak antikritik. Bahkan ia menawarkan Sukatani menjadi duta Polri.
Apakah ini bentuk pelurusan atau pendekatan represif dengan wajah baru?
Twister Angel, yang juga seorang guru SD Islam, diberhentikan dari jabatannya pada 6 Februari karena dianggap melanggar kode etik. Belakangan, Bupati Purbalingga menawarkan agar ia kembali mengajar—tapi narasi soal ‘pemulihan’ ini justru memperkuat kecurigaan publik.
“Kenapa dia harus dipecat dulu untuk kemudian ditawarkan pekerjaan lagi? Ini bukan soal pekerjaan. Ini soal hak bersuara,” kata seorang aktivis HAM yang enggan disebut namanya kepada Wartawan Jabartrusted.com.
Laporan Propam dan Misteri Intimidasi
Divisi Propam Polri kini memeriksa enam anggota Polda Jawa Tengah terkait dugaan intimidasi terhadap band Sukatani. Namun menurut juru bicara Polda Jateng, empat dari enam anggota disebut telah menjalankan tugas secara “profesional.”
Transparansi pemeriksaan ini dipertanyakan. Julius Ibrani dari PBHI menyebut, “Pemeriksaan oleh institusi yang sama menimbulkan konflik kepentingan. Harusnya kasus ini ditarik ke Mabes.”
Resonansi di Dunia Maya
Analisis dari Monash University Indonesia menunjukkan, percakapan soal Sukatani mencapai puncaknya pada 21 Februari—bertepatan dengan aksi Indonesia Gelap. Sebanyak 17 ribu unggahan menyinggung kata “Sukatani”, “Polisi” dan “Bayar”.
Yang menarik, sebagian percakapan justru menggunakan bahasa Inggris. Apakah ini upaya membawa isu ini ke perhatian internasional?
“Kalau banyak yang diam, bisa jadi karena takut. Tapi diam tidak berarti tidak peduli,” ujar Ika Idris, peneliti Monash.
Polri, Kritik, dan Citra yang Retak
Polri tetap menjadi salah satu lembaga yang cukup dipercaya menurut survei, dengan angka kepercayaan publik mencapai 69–73% per Februari 2025. Namun di kalangan masyarakat sipil yang kritis, ketidakpercayaan tampak nyata.
“Citra polisi belum pulih sejak kasus Sambo,” kata Adam Kamil dari Indikator Politik Indonesia.
Menurutnya, efek kasus Sukatani mungkin tidak besar secara statistik, tapi kuat secara simbolik—terutama di kalangan muda dan pegiat keadilan sosial.
Bukan Kasus Pertama, dan Mungkin Bukan yang Terakhir
Polemik Sukatani bukan peristiwa pertama. Ada Youtuber yang dipenjara karena mengunggah video pungli polisi, istri polisi yang ditangkap karena menulis tagar #PercumaLaporPolisi, hingga pelarangan kritik saat pelantikan presiden.
“Kita melihat pola. Bukan insiden terisolasi, tapi sistematis,” kata Julius.
Ia bahkan menyebut ada kemungkinan perlawanan di internal kepolisian terhadap Kapolri sendiri. “Raja-raja kecil di daerah tidak menjalankan komitmen Kapolri.”
Musik Sebagai Senjata, Bukan Sekadar Nada
Sukatani telah menyinggung satu kenyataan: bahwa kritik bisa lahir dari mana saja—termasuk dari panggung kecil di Purbalingga. Dan ketika kritik dibungkam, yang muncul bukan ketenangan, tapi gelombang solidaritas.
Hari ini, konser mereka tetap dipadati. Lagu mereka tak diputarkan, tapi gema suaranya tak hilang.
Mungkin, saat band ini diam, publiklah yang mulai bernyanyi.