“Luka di Ruang Sunyi: Kekerasan Seksual di Balik Jas Putih”

BANDUNG.JABARTRUSTED.COM,- Di antara hiruk-pikuk suara mesin medis dan langkah tergesa para tenaga kesehatan, ruang rumah sakit seharusnya menjadi tempat pemulihan—bukan trauma. Namun, bagi seorang anak perempuan yang datang sebagai keluarga pasien di RSUP Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung pada pertengahan Maret 2025, ruang itu justru menjadi awal dari mimpi buruk yang tak terbayangkan.

Menurut informasi yang beredar dan dikonfirmasi oleh Kementerian Kesehatan, seorang dokter residen dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi FK Unpad, berinisial PAP, diduga melakukan pemerkosaan terhadap korban dengan cara membiusnya terlebih dahulu. Aksi bejat itu dilakukan di lingkungan rumah sakit, tempat di mana kepercayaan seharusnya dijunjung tinggi.

Kepercayaan yang Dikhianati

“Kita sudah larang seumur hidup untuk melanjutkan program PPDS-nya di RSHS,” ujar Azhar Jaya, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Lanjutan Kemenkes. Pernyataan itu menjadi langkah awal negara memberi sanksi administratif. Namun, pertanyaan besar masih menggantung: bagaimana tindakan seperti ini bisa terjadi di tengah sistem yang katanya ketat dan profesional?

Unpad dan RSHS cepat merilis pernyataan bersama, menyebutkan bahwa mereka mengecam keras kekerasan seksual dan sudah memberikan pendampingan kepada korban. Mereka juga menegaskan bahwa PAP bukan karyawan RSHS, melainkan peserta residen yang “dititipkan.”

Namun, dalam sejumlah penelusuran dan wawancara dengan pihak internal dan aktivis advokasi korban, muncul dugaan bahwa insiden ini bukan sepenuhnya kejutan. Seorang mantan residen, yang meminta namanya disamarkan, mengungkapkan bahwa “budaya senioritas yang nyaris feodal” masih lekat di lingkungan pendidikan spesialis. “Kalau kamu junior dan melihat atau tahu sesuatu yang tidak beres, kamu lebih baik diam kalau tidak mau karirmu hancur,” ujarnya.

Apakah Sistem Gagal?

Penelusuran lebih jauh mengungkap bahwa mekanisme pengawasan terhadap peserta PPDS kerap longgar. Mereka berada dalam posisi “di antara”—bukan staf resmi rumah sakit, tapi juga bukan sepenuhnya mahasiswa. Dalam status abu-abu itu, pengawasan mereka lebih bergantung pada struktur internal fakultas dan supervisi senior. Di sisi lain, sistem pelaporan kekerasan seksual di banyak institusi pendidikan medis belum memiliki protokol yang kuat dan aman bagi korban.

Pihak Unpad belum secara terbuka menjelaskan proses investigasi internal, termasuk apakah ada pelaporan sebelumnya terhadap pelaku, serta sejauh mana lingkungan pendidikan memberi ruang aman bagi korban.

Korban: Bukan Angka, Tapi Nyawa

Korban kini dalam pendampingan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Jabar. Namun publik belum banyak mendengar suara keluarga. Mereka yang mendampingi korban menyebutkan bahwa trauma yang dialami sangat berat, terutama karena pelaku adalah orang yang dipercaya, berseragam putih, dan bertugas di institusi yang seharusnya menyelamatkan hidup.

“Ini bukan hanya soal satu orang pelaku, ini tentang sistem yang membiarkan ruang kosong bagi predator,” kata Dini*, seorang aktivis pendamping korban kekerasan seksual di Bandung.

Menggugat Tanggung Jawab Institusi

Apakah cukup dengan pemecatan dan pernyataan belasungkawa institusi? Apa bentuk tanggung jawab moral dan hukum dari Unpad sebagai lembaga yang mendidik pelaku? Bagaimana RSHS memastikan peristiwa ini tidak akan terjadi lagi? Pertanyaan-pertanyaan itu masih belum terjawab dengan tuntas.

Penanganan kasus ini akan menjadi ujian serius bagi dunia medis dan pendidikan tinggi di Indonesia. Jika ruang paling steril sekalipun bisa menjadi tempat kekerasan seksual, maka kita harus bertanya ulang: apa yang sesungguhnya kita rawat di dalam institusi kita?

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *