BALI.JABARTRUSTED.COM,- Mereka bilang, lagu bisa membawa kita kembali ke masa lalu. Tapi tidak semua lagu punya kekuatan itu. Hanya beberapa—yang ritmenya menyentuh, liriknya menempel di hati, dan yang memutar ulang kenangan tanpa ampun. Bagi saya, lagu itu adalah “Island in The Sun” dari Weezer.
Setiap kali terdengar alunan awal lagu itu, pikiran saya langsung melompat ke sebuah perjalanan spontan ke Pulau Dewata, bertahun-tahun lalu. Kami bertiga, perempuan-perempuan yang mendadak lelah dengan rutinitas, memutuskan untuk kabur sejenak dari dunia korporat dan menuju Bali. Hanya dua hari sebelum keberangkatan, kami mengemas semangat dan kegilaan muda kami dalam koper-koper kecil, lalu terbang ke tempat di mana mentari seolah tak pernah redup.
Kami tidur larut, bukan karena pesta, tapi karena menikmati debur ombak dan obrolan tanpa ujung. Esok paginya, dengan mata yang masih berat, salah satu dari kami sudah siap di balik kemudi. Siap menjelajah pulau. Lagu “Island in The Sun” mengalun dari speaker mobil, seperti menjadi soundtrack tak resmi liburan itu. Kami menyusuri dataran tinggi Bedugul yang sejuk, menyambangi pantai-pantai yang belum tersentuh ramai, dan menyempatkan diri ke GWK—yang saat itu patung raksasanya masih dalam pembangunan.
Bali menyuguhkan banyak hal, tapi yang paling membekas justru hal-hal sederhana: senja yang romantis, kopi hangat di kafe pinggir pantai, dan suara live music gratis yang entah kenapa terdengar sempurna. Saat lagu itu kembali diputar, kami tertawa. Kadang bernyanyi sambil sumbang, kadang hanya bergumam sambil melamun ke luar jendela.
Kapal pesiar yang kami coba? Jauh dari glamor. Tapi justru itu indahnya. Kami tak punya ekspektasi, hanya ingin tahu bagaimana rasanya mengambang di tengah laut. Dan ternyata, berada di antara laut dan langit dengan teman perjalanan yang menyenangkan adalah salah satu bentuk kebahagiaan paling tulus yang bisa diingat manusia.
Lebih Dari Sekadar Lagu Liburan
Weezer merilis “Island in The Sun” tahun 2001, sebagai bagian dari Green Album. Lagu ini kemudian menjadi soundtrack film Aquamarine, tapi bagi saya, ia menjadi soundtrack kenangan yang lebih personal. Dengan nada yang santai, lirik yang mengajak kabur dari dunia nyata, dan aransemen musik yang hangat, lagu ini bukan sekadar iringan jalan-jalan. Ia adalah panggilan untuk berhenti sejenak dari dunia yang terlalu keras dan terlalu cepat.
Tak banyak lagu yang bisa mengantarkan memori sejelas ini. Tapi “Island in The Sun” punya kekuatan itu: membawa saya kembali ke momen-momen yang tidak sempurna, tapi justru karena itulah terasa nyata dan indah.
Jeda, Kebebasan, dan Rasa Ingin Mengulang
Setelah sekian tahun, saya menyadari: yang membuat liburan itu istimewa bukan hanya tempatnya, tapi rasa kebebasan yang kami ciptakan sendiri. Tidak ada itinerary, tidak ada “to do list”—hanya tiga perempuan yang mengizinkan diri mereka untuk beristirahat dari ekspektasi.
Mungkin itulah makna sejati dari island in the sun. Bukan sekadar pulau tropis, tapi tempat batin yang kita datangi untuk sembuh, untuk tertawa, untuk tidak merasa bersalah karena merasa bahagia.
Kini, setiap kali mendengar lagu itu, saya membayangkan hal yang sama: menyusuri jalanan panjang dari Jakarta ke Banyuwangi, melewati Baluran, Kawah Ijen, dengan seseorang yang saya sayangi. Dan di latar, lagu itu kembali diputar:
“We’ll run away together
We’ll spend some time forever
We’ll never feel bad anymore”
Karena ada kalanya, yang kita butuhkan hanya liburan spontan, sahabat yang setia, dan satu lagu yang akan selalu mengingatkan kita pada hari-hari ketika hidup terasa sangat ringan.