Jihad Global dan Fatwa dari Doha: Ketika Gaza Membakar, Dunia Muslim Bergolak

DOHA.JABARTRUSTED.COM,- Pada Jumat sore yang hangat di Doha, Qatar, suara Ali al-Qaradaghi menggema dari mimbar digital Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional (IUMS), memecah keheningan banyak negara Muslim. Dalam sebuah fatwa yang segera menyebar ke berbagai platform media dan kanal komunitas Islam, Qaradaghi menyerukan “jihad melawan Israel” sebagai respon terhadap agresi militer yang telah berlangsung 17 bulan di Gaza. Kata “jihad” tak lagi sekadar spiritualitas personal—ia kini dibungkus ulang menjadi senjata diplomatik dan tekanan politik.

Fatwa ini tidak berdiri sendiri. Ia datang di tengah kehancuran yang semakin mengerikan: lebih dari 50 ribu jiwa melayang di Gaza sejak Oktober 2023, dengan 1.200 korban tewas hanya dalam satu bulan terakhir. Israel, yang mendapat dukungan penuh dari pemerintahan Donald Trump dalam periode keduanya, terus menggempur wilayah padat penduduk itu. Di balik angka-angka itu, muncul pertanyaan yang lebih besar: apakah dunia Muslim masih punya satu suara?

Dari Doha ke Damaskus: Siapa di Balik Fatwa?

IUMS bukan lembaga sembarangan. Didirikan dan dahulu dipimpin oleh Yusuf al-Qaradawi, salah satu pemikir Islam paling berpengaruh abad ini, IUMS memiliki jaringan yang membentang dari Maroko hingga Malaysia. Kini, di bawah kepemimpinan Qaradaghi, organisasi ini tampak mencoba merebut kembali panggung politik Islam global—setelah sebelumnya lebih banyak diam dalam konflik-konflik besar terakhir.

Didukung oleh 14 ulama terkemuka dari berbagai negara, fatwa itu tak hanya menyerukan jihad fisik, tapi juga pemutusan rantai logistik yang mendukung Israel. “Menjual senjata, membuka pelabuhan, bahkan membiarkan wilayah udara dilewati—semuanya haram,” ujar Qaradaghi. Ia menuntut blokade penuh terhadap Israel oleh dunia Muslim, sebuah seruan yang, jika dijalankan, bisa mengguncang peta logistik global.

Namun siapa saja para ulama ini? Banyak dari mereka berasal dari negara-negara yang pemerintahnya justru menjalin hubungan diplomatik atau dagang dengan Israel. Beberapa terafiliasi dengan gerakan Islamis yang selama ini ditekan di negara mereka sendiri. Dalam beberapa kasus, mereka berada dalam pengasingan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: seberapa representatifkah suara mereka?

Antara Kewajiban dan Konsekuensi

Fatwa jihad ini memantik perdebatan sengit di dunia Islam. Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum mengeluarkan pernyataan resmi. Di Mesir dan Uni Emirat Arab—negara yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel—reaksinya cenderung dingin. Di sisi lain, publik Muslim di berbagai belahan dunia menunjukkan dukungan simbolik, dari demonstrasi hingga penggalangan dana.

Namun ada bahaya besar di balik narasi ini. Di banyak negara, seruan semacam ini bisa dijerat sebagai bentuk ekstremisme. Beberapa analis menyebut, fatwa ini bisa memicu gelombang kriminalisasi terhadap aktivis pro-Palestina, terutama di negara-negara Barat yang mengaitkan jihad dengan terorisme. Hal ini menempatkan Muslim diaspora dalam posisi yang serba salah.

Trump, Gaza, dan Politik Dua Muka

Uniknya, fatwa ini juga menyasar Amerika Serikat. Qaradaghi meminta Muslim AS menekan Presiden Trump agar menghentikan dukungan terhadap Israel. Tapi Trump bukan Barack Obama; ia dikenal keras dan tak segan memainkan isu luar negeri sebagai alat politik domestik. Dalam kampanye terakhirnya, Trump bahkan menyebut dirinya “sahabat sejati Israel,” sembari membantah laporan bahwa ia pernah mengunjungi Gaza—klaim yang kini dipertanyakan kredibilitasnya.

Trump telah memberikan “lampu hijau” kepada Israel untuk melanjutkan agresi. Para analis menyebut, ini bagian dari strategi memperkuat posisi AS di Timur Tengah lewat tangan militer Israel. Dalam skema ini, Gaza menjadi pion berdarah dalam permainan kekuasaan global.

Ke Mana Arah Dunia Islam?

Fatwa ini lebih dari sekadar ajakan spiritual. Ia adalah manifestasi kemarahan kolektif, frustrasi politik, dan keterasingan umat Islam dari proses perdamaian global. Namun, apakah ia akan benar-benar berdampak pada kebijakan negara? Sejauh ini, belum ada pemerintahan besar yang merespons secara resmi. Tapi sejarah mencatat, banyak perang dimulai bukan dengan peluru, melainkan dengan kata.

Gaza masih terbakar. Dunia Muslim kembali menghadapi pertanyaan lama: akan terus diam, atau bangkit dengan risiko pecahnya konsensus? Dalam medan di mana diplomasi gagal dan kekuatan militer semakin brutal, kata-kata para ulama kini menggema sebagai suara terakhir—atau mungkin, gema awal sebuah perlawanan baru.


Kalau kamu mau, artikel ini bisa disesuaikan panjangnya, ditambah box data soal sejarah fatwa serupa, grafik korban Gaza, atau wawancara dari aktivis atau pengamat internasional. Mau dikembangkan ke arah mana?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *