“Getok Parkir” di Bandung: Letupan Kecil dari Masalah Besar

TDi tengah euforia libur Lebaran 2025, saat ribuan wisatawan memadati sudut-sudut Kota Bandung, segelintir orang memanfaatkan keramaian itu untuk meraup untung haram. “Getok parkir”—istilah jalanan untuk pungli berkedok jasa parkir—kembali menjamur, seolah menjadi tradisi tahunan yang tak tersentuh hukum secara serius.

Selama masa libur, Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung menangkap 15 pelaku pungli di tiga titik padat: Jalan Asia Afrika, Tamansari, dan kawasan Pasar Baru. Di antara mereka, ada yang mematok tarif liar hingga Rp30 ribu sekali parkir, jauh di atas tarif resmi berdasarkan Perwal No. 66/2021.

Namun, fakta yang lebih mengganggu bukan pada besarannya, melainkan pada pola: pungli ini bukan insiden. Ia sistemik.

Parkir Liar dan Simulakra Ketertiban

Plt Kadishub Kota Bandung, Asep Kuswara, menyebut para pelaku sebagai “putra daerah”, pendatang, anggota ormas, dan LSM. Mereka tak berpakaian resmi, tak berseragam, dan menarik uang sebelum mobil benar-benar terparkir—berbeda dengan sistem legal yang berbasis BLUD dan retribusi waktu.

Namun, anehnya, tidak ada satu pun yang diserahkan ke Satgas Saber Pungli. Alasannya: jumlah pungutan kecil dan “cukup dibina saja.” Di sinilah masalah bermula.

Di balik narasi pembinaan, muncul pertanyaan yang lebih menggelitik: apakah pungli kecil akan terus ditoleransi karena dianggap ‘letupan kecil’? Atau sebenarnya, ini hanya puncak dari gunung es yang jauh lebih dalam: lemahnya pengawasan, minimnya sinergi antarinstansi, dan absennya penegakan hukum yang konsisten.

Premanisme yang Tumbuh dalam Kekosongan

Di berbagai kota besar, parkir menjadi lahan empuk bagi premanisme mikro—terutama di titik wisata, pasar, dan pusat kota. Ketika negara absen dari ruang-ruang publik itu, maka yang hadir adalah hukum jalanan. Tidak ada retribusi masuk ke kas daerah, hanya pungli yang disamarkan dengan senyum dan rompi palsu.

Seorang sopir wisatawan asal Jakarta yang ditemui di Jalan Asia Afrika mengeluh, “Kami bayar mahal, tapi nggak dapat karcis. Mau lapor juga bingung ke mana.”

Bandung, kota yang katanya “ramah wisata”, pelan-pelan berubah menjadi labirin pungli tanpa papan petunjuk.

Masalah yang Dilupakan atau Sengaja Didiamkan?

Dari catatan investigasi kecil Kejakimpol.id, tidak ada laporan transparan berapa potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hilang setiap tahunnya akibat parkir liar. Jika satu titik parkir bisa menghasilkan puluhan juta rupiah dalam sehari, berapa ratus juta yang menguap dalam seminggu libur Lebaran?

Dan mengapa penegakan hukum begitu lunak? Apakah karena para pelaku terafiliasi dengan ormas tertentu? Apakah ada pembiaran sistemik demi “keamanan sosial”?

Selama pertanyaan-pertanyaan ini tidak dijawab, maka pungli akan terus hidup. Ia akan menyamar sebagai juru parkir, merayakan kebebasan di tengah keramaian, dan menertawakan sistem yang seharusnya menertibkannya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *