RUU TNI Disahkan, Isu Dwi Fungsi Menggema Lagi

JAKARTA.JABARTRUSTED.COM, – Jakarta kembali diramaikan oleh suara mahasiswa. Bukan hanya orasi dan spanduk yang membakar semangat, tetapi juga kekhawatiran kolektif: Apakah Dwi Fungsi TNI akan kembali hadir?

Setelah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis, 20 Maret 2025, Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) resmi menjadi Undang-Undang. Ketua DPR RI Puan Maharani memimpin sidang yang menjadi titik tolak gelombang protes sipil di berbagai kota.


Dukungan dan Kritik Mengalir

Di tengah gelombang penolakan, Mahfud MD, mantan Menkopolhukam, menegaskan bahwa tidak ada pasal dalam UU tersebut yang secara eksplisit menghidupkan kembali Dwi Fungsi TNI.

“Saya tidak melihat indikasi ke sana,” ujar Mahfud. Namun, bagi mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil, kekhawatiran tidak berhenti pada teks hukum — tetapi pada tafsir dan implementasi.


Dwi Fungsi: Sejarah yang Belum Hilang dari Ingatan

Isu Dwi Fungsi bukan cerita baru. Ia lahir dari ketegangan lama antara sipil dan militer. Salah satu titik balik terjadi saat Perjanjian Renville 1948, ketika militer merasa perjuangannya dikhianati oleh hasil politik.

Kemarahan memuncak dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, ketika KSAD Kolonel AH Nasution dan sejumlah perwira mendesak Presiden Sukarno membubarkan DPR sementara. Bung Karno menolak, tapi benih ketegangan telah tumbuh.

Dari sana lahir konsep “Jalan Tengah” Nasution tahun 1958 — militer bukan sekadar pelindung negara dari ancaman luar, tapi juga aktor dalam pembangunan nasional.


Orde Baru dan Puncak Dwi Fungsi ABRI

Konsep itu mencapai puncaknya di masa Orde Baru, saat Presiden Soeharto menerapkan Dwi Fungsi ABRI secara utuh. Tentara tak hanya menjaga batas negara, tapi juga duduk di kursi menteri, gubernur, bahkan jaksa agung.

Militer menjadi aktor ganda — pengendali keamanan sekaligus pembuat kebijakan. Hasilnya? Negara stabil, tapi demokrasi tersandera.


Reformasi dan Jalan Pulang ke Barak

Setelah 1998, reformasi membawa arah baru. Dwi Fungsi perlahan dihapuskan. Militer diminta kembali ke barak. Fungsi politik diserahkan pada warga sipil.

Kini, dua dekade lebih reformasi berjalan, dan dengan disahkannya UU TNI 2025, publik bertanya: Apakah ini langkah mundur?


Mahasiswa Menolak Lupa

Demo mahasiswa bukan sekadar reaksi spontan. Ia adalah memori kolektif akan kekuasaan yang terlalu besar di tangan militer. Spanduk “TNI Jaga Negara, Bukan Kuasai Negara” berkibar di berbagai kampus.

Kritik mengarah pada sejumlah pasal dalam UU baru yang dinilai membuka ruang penugasan militer aktif dalam jabatan sipil — sebuah pintu yang dulu pernah dibuka terlalu lebar.


Apa Kata Pemerintah?

Pemerintah dan para pendukung UU TNI menyebut pengesahan ini sebagai bentuk adaptasi terhadap dinamika ancaman keamanan masa kini — yang tak hanya datang dari luar, tapi juga siber dan non-tradisional.

Namun pertanyaannya: bisakah adaptasi dilakukan tanpa kembali pada bayang-bayang masa lalu?


Menjaga Demokrasi Tetap Demokratis

Isu Dwi Fungsi bukan sekadar tentang siapa duduk di kursi apa. Ini soal garis demarkasi antara sipil dan militer yang menjadi fondasi negara demokratis.

Dan dalam demokrasi, keraguan rakyat tidak boleh dianggap musuh. Ia harus didengarkan, dijawab, dan dijadikan cermin kebijakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *