BANDUNG.JABARTRUSTED.COM, – Suatu malam di sebuah rumah di pinggiran Jakarta, seorang ibu memergoki putrinya yang baru duduk di bangku SMP masih menatap layar ponselnya di balik selimut. Sinar dari layar menyorot samar wajah lelah tapi penuh rasa penasaran itu. Ketika ditanya sedang apa, si anak menjawab, “Cuma scroll TikTok, Bu. Bentar lagi, kok.”
Sepintas terlihat sepele. Tapi dari layar mungil itulah dunia baru yang tak terlihat sedang membuka lebar-lebar pintunya—dunia digital yang penuh kreativitas, tapi juga tak jarang berisi jebakan berbahaya: eksploitasi, perundungan, hingga penipuan.
TikTok dan Benteng Digital yang Disiapkan untuk Remaja
Sebagai platform yang digemari remaja, TikTok ternyata tak tinggal diam. Mereka menyadari, daya tarik konten pendek bisa menjadi magnet kuat bagi generasi muda yang haus hiburan dan pengakuan. Maka, kebijakan komunitas yang ketat pun diterapkan.
“Sebanyak 95 persen anak usia 12-17 tahun di Indonesia menggunakan internet minimal dua kali sehari,” ujar Anggini Setiawan, Communication Director TikTok Indonesia, dalam webinar “Keamanan Digital bagi Remaja”, Jumat (31/1/2025). “Dan lebih dari 500 ribu di antaranya mengaku pernah mengalami eksploitasi atau perlakuan salah di ruang digital.”
Angka itu tidak bisa dianggap sepele. Maka, TikTok membuat batas usia minimum 14 tahun untuk membuat akun. Mereka juga mengembangkan fitur keterhubungan akun orangtua dan anak, agar aktivitas si buah hati bisa dipantau dan dikontrol secara bijak.
Tak berhenti di sana, lebih dari 66 juta akun yang terdeteksi dimiliki oleh pengguna di bawah umur dihapus sepanjang 2024. TikTok juga gencar mengunjungi sekolah-sekolah lewat program #SalingJaga serta menyelenggarakan edukasi digital parenting bagi orangtua.
Namun, apakah hanya dengan aturan dan fitur cukup untuk menjaga anak tetap aman?
Remaja: Penasaran, Impulsif, dan (Terlalu) Percaya Diri
Diena Haryana, pendiri Sejiwa Foundation, dalam forum yang sama, memaparkan kenyataan yang sering kali luput dari perhatian orangtua: anak-anak remaja bukan hanya muda, mereka juga impulsif dan sangat bawa perasaan (baper).
“Mereka ingin tahu, tapi juga cepat bertindak tanpa berpikir panjang,” katanya. “Ketika melihat konten yang lucu atau menarik, mereka langsung bagikan. Tidak dicek kebenarannya, tidak ditimbang apakah itu aman atau tidak.”
Lebih parah lagi, banyak dari mereka tanpa sadar membagikan informasi pribadi di ruang publik digital: mulai dari lokasi rumah, nama sekolah, hingga foto yang terlalu terbuka. Dalam kondisi seperti itu, predator digital hanya tinggal menunggu.
Orangtua: Gawai Boleh Dipegang, Tapi Jangan Dilepas Sepenuhnya
Diena menegaskan, peran utama perlindungan tetap ada pada orangtua. Platform seperti TikTok bisa menyediakan fitur keamanan, tapi tak ada yang bisa menggantikan komunikasi, keteladanan, dan bimbingan langsung.
Ia menyarankan orangtua menerapkan “Screen Zones”—zona bebas gawai di rumah, seperti meja makan, kamar mandi, dan kamar tidur.
“Meja makan adalah momen keluarga yang sakral. Di situlah komunikasi hangat terjadi. Jangan rusak dengan menatap layar,” katanya. Di kamar mandi dan kamar tidur, risiko lebih besar: dari pengambilan gambar pribadi hingga pertemuan online yang tak semestinya.
Bersama-Sama Menjaga Masa Depan Digital Anak
Momen Lebaran mungkin jadi ajang kumpul keluarga, tapi juga saat yang tepat untuk meninjau ulang pola penggunaan teknologi di rumah. Apakah anak-anak hanya dilarang tanpa dibimbing? Atau sudahkah orangtua memberi contoh—mengurangi waktu menatap layar saat bersama keluarga, misalnya?
TikTok, lewat data dan aksinya, menunjukkan komitmen menjaga ruang digital tetap aman. Tapi seperti yang disampaikan Diena, pelindung terbaik tetaplah keluarga.
“Bukan sekadar memberi gawai, tapi juga memberi pemahaman, pendampingan, dan cinta,” ujarnya.
Di era di mana layar menjadi pintu ke dunia luar, sudah waktunya kita bertanya: apakah anak-anak kita membuka pintu itu sendirian?